Season of Transition

7:19:00 AM






https://www.instagram.com/p/B3YGD8WgcXN/

Artikel ini telah di-publish oleh penulis pada platform LinkedIn pribadinya (https://www.linkedin.com/pulse/season-transition-nur-alfi-maula-devi/)

Halo semua. Apa kabarnya ? Semoga selalu sehat baik mental ataupun fisik. Perkenalkan, yang sedang menyapa kalian ini bernama Devi. 25 tahun dan sedang mencoba melakukan banyak hal untuk mewujudkan mimpinya. Saat ini, dia sedang bekerja menjadi Guru Pendamping Kelas untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sebuah SMA di kota Malang. Sudah hampir 9 bulan lamanya Devi bekerja. Memang tergolong waktu yang singkat dengan pengalaman yang belum terlampau banyak untuk dibagi. Akan tetapi, tidak perlu menunggu banyak untuk berbagi bukan ?
Mulai hari ini, bertepatan dengan hari kesehatan jiwa sedunia, Devi akan memulai perjalanan “season of transition”. Season of transition, layaknya musim yang berganti atau pohon yang menua seiring berjalannya waktu. Manusia pun mengalami masa transisi itu. Untuk mengawalinya, izinkan Devi membagi apa yang ingin Devi bagi kepada teman-teman sekalian disini. Sebagai catatan, Devi bukan survivor apalagi praktisi yang bergerak di bidang penanganan kesehatan mental. Devi disini murni berbagi hanya sebagai manusia biasa yang juga punya perasaan, emosi, dan pikiran yang kadang sama egoisnya dengan manusia lain. Hanya ingin sekedar didengarkan. Dirasakan oleh orang lain : ini lho rasanya jadi aku. Sebegitu egoisnya dan sering teredam akibat topeng bernama profesionalisme di tempat kerja. Selalu, hal tersebut teramat melelahkan. Akan tetapi, ada hal lain yang Devi dapatkan dan yang pasti… menjadikan Devi yang sekarang tidak bisa disamakan dengan Devi 9 bulan yang lalu.

Egoisme dan profesionalisme. Pekerjaan Devi saat ini memiliki jurang yang tipis untuk membedakan harus mendahulukan yang mana dulu. Menjadi guru berarti kerja ikhlas. Ikhlas dihubungi wali murid pada jam 9 malam. Sekedar untuk menanyakan : apa benar besok ananda disuruh membawa melon ke sekolah ? Ikhlas menunda waktu pulang. Memastikan anak didik sudah selesai mengikuti ekstrakulikuler. Ikhlas untuk memotong hari libur dan menggantinya dengan mengikuti workshop atau pelatihan atau memberikan les tambahan untuk anak didik yang berada di penghujung tahun terakhirnya: di hari sabtu. Semua dilakukan dengan ikhlas dan hanya berharap diberikan tubuh dan energi yang sehat untuk hari berikutnya. Devi yang diawal-awal bulan merasakan ketidaknyamanan dengan semua perubahan mendadak itu, saat ini sudah terbiasa dengan rutinitas harian yang tidak pernah menjemukan. Sebab, selalu ada kejutan setiap harinya. Devi sangat menikmati hal tersebut.

Sebagai contoh dari kejutan yang dimaksud adalah saat hari rabu lalu. Salah satu anak didik Devi menolak untuk makan sayur. Sekedar perkenalan: sebut saja namanya Kiki. Kiki adalah anak didik Devi dengan autism spectrum disorder (ASD). Kiki bertubuh besar dan tinggi, seperti pesumo. Usia mental setara dengan anak berumur 3-4 tahun. Salah satu rutinitas diet Kiki adalah makan sayur dan masakan sehat agar perilakunya dapat dikontrol. Saat Kiki menolak melakukan dietnya, tentu Devi tidak bisa diam saja. Diam berarti menghancurkan pola diet yang sudah berjalan. Konsekuensi dari tindakan Devi, Kiki refleks memukul perut Devi sebagai bentuk perlawanan. Marah ? tidak. Lebih ke arah kecewa.

Kenapa harus memukul ?

Pertanyaan yang bahkan Kiki tidak akan bisa menjawabnya. Dengan keterbatasan kemampuan verbal dan motoriknya, Kiki hanya bisa mengatakan ya dan tidak sebagai kata kunci yang menghubungkan dirinya dengan dunia disekitarnya. Berarti, dengan kondisi Kiki yang seperti ini… tentu sangat egois jika Devi harus marah kepada Kiki. Sia - sia dan buat apa.

Pilihan Devi jatuh kepada tindakan profesional. Mendisiplinkan agar Kiki tidak mengulangi hal yang sama kepada orang lain terlebih Devi. Kiki terbatas berkomunikasi tapi tidak dalam hal “merasa” dan berempati. Kiki sangat peka terhadap emosi orang lain. Kiki akan dengan mudahnya tahu saat Devi sedang tidak dalam mood  yang baik dan mencoba menghibur Devi dengan caranya sendiri. Meminta tos misalnya. Hal sederhana yang terkadang membuat Devi tertawa dan berhenti sejenak memikirkan hal - hal yang memusingkan bagi dunia orang dewasa. Kiki telah menyelamatkan Devi untuk tidak tenggelam terlampau jauh dalam emosi negatif yang menguras pikiran dan energi negatif Devi.

Setelah tindakan pendisiplinan Devi di hari lalu, hari ini Kiki dapat mengikuti proses belajar tanpa tantrum. Dia tampak tenang dan sangat atentif. Mengikuti setiap instruksi layaknya anak yang baik. Tidak berteriak heboh atau berperilaku repetitif yang mengganggu teman - temannya yang lain. Kiki pun menurut saat Devi menyuruhnya untuk makan wortel dalam sup. Wortel bagi Kiki, ibarat paprika untuk Sinchan. Wortel adalah sayuran yang tidak disukai oleh Kiki, hanya akan dimakan saat dipaksa. Walau begitu, Devi melihat kesungguhan usaha Kiki untuk memperbaiki kesalahannya pada hari rabu lalu : dengan diam dan makan sup dengan lahap. Devi sangat tersentuh dengan perubahan sekecil itu. Devi belajar, begitu pula dengan Kiki.

Begitulah Devi berproses setiap harinya. Mencoba meregulasi segala emosi naik dan turun. Datang ke sekolah dengan perasaan bahagia belum tentu akan terjadi saat pulang. Kadang Devi bisa pulang dengan bermuka masam. Kadang datar, sudah terlampau lelah untuk berekspresi. Terkadang bisa tertawa bahagia sambil melontarkan candaan konyol kepada teman kerja. Apapun itu, hari demi hari terasa sangat berarti. Kiki dan teman - teman ABK lainnya yang memberi arti. Arti terhadap keberadaan Devi dan hal - hal yang Devi lakukan sebagai pendidik mereka.

Let’s begin ! This season of transition ! 

You Might Also Like

0 Comment